Selasa, 18 Mei 2010

CAFTA: Sebeku Es atau Seganas Hiu?

Pengusaha Indonesia sedang menghadapi tantangan besar terkait diberlakukannya China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) dan krisis di benua Eropa yang juga bisa mempengaruhi iklim usaha di Indonesia. Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi Agus Sarwono seperti diberitakan oleh salah satu media di Indonesia, Jumat (4/5), mengatakan, krisis utang negara-negara Eropa membuat tekanan capital inflow ke Indonesia berkurang. Bahkan pekan lalu terjadi capital outflow, termasuk dari instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang mencapai Rp10 triliun.

Jatuhnya industri manufaktur akibat pemberlakuan CAFTA dapat dianggap wajar, karena harga yang relatif murah dan diperdagangkan di hampir semua pusat perbelanjaan di Tanah Air, terutama pusat perbelanjaan di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya, membuat produk manufaktur China sangat diminati masyarakat. Bahkan jumlah penjualan produk negara Tirai Bambu itu nyaris mengalahkan produk dalam negeri. Celakanya, selama ini pemerintah pun cenderung tidak transparan, karena meski kesepakatan CAFTA ditandatangani pada tahun 2006, namun tidak pernah disosialisasikan kepada pengusaha, sehingga begitu CAFTA diberlakukan, pengusaha tidak punya persiapan untuk menghadapinya. Padahal, masuknya produk China ke Indonesia tidak hanya melalui jalur legal, tapi juga illegal (penyelundupan).

Bagaimana kita harus menyikapi hal ini?
Untuk menghilangkan kecemasan yang berlebih, kita boleh mengingat istilah “No Pain, No Gain” alias tidak ada perjuangan juga tidak ada keuntungan. Mudah-mudahan Anda juga sepakat bahwa persaingan justru mendatangkan berkah.
Sebuah perusahaan yang tidak memiliki pesaing di dalam industrinya cenderung akan lapuk dan layu. Tentu kita masih ingat sekitar 5 tahun yang lalu, dimana pemerintah memberikan ijin bagi swasta asing untuk boleh mendistribusikan bahan bakar minyak yang kala itu dimonopoli oleh Pertamina. Bagaimana pelayanan Pertamina sebelum itu? Berapa banyak petugas pom bensin yang mau tersenyum dengan ramah kepada Anda sambil menunjukkan angka “nol” sebelum memulai pengisian tersebut?
Bagaimana dengan bisnis penerbangan di tanah air sekitar 10 tahun yang lalu sebelum maraknya penerbangan murah yang sudah menjadi lumrah saat ini? Mengapa penerbangan murah di tanah air yang dipelopori oleh LionsAir, menawarkan tiket penerbangan yang sungguh diluar nalar saat itu selalu membukukan keuntungan dari tahun ke tahun hingga saat ini? Keunggulan LionsAir dalam menawarkan harga murah bukan hanya menghantam para pemain lama di industri penerbangan, tapi juga berdampak pada transportasi angkutan massa lainnya seperti kapal laut, bus penumpang dan kereta api. Bagaimana mungkin Garuda Indonesia sebagai perusahaan penerbangan milik pemerintah yang menjual layanannya demikian tinggi dengan segala fasilitas dan bantuan lainnya mengaku rugi setiap tahunnya kala itu?

Belajar dari Nelayan Jepang
Nelayan Jepang punya sebuah cara untuk tetap mempertahankan kesegaran ikan tuna yang mereka tangkap walaupun mereka baru bisa kembali ke darat setelah berminggu-minggu berlayar di laut lepas. Sebelum mereka menemukan cara unik ini setiap hasil tanggapan tuna, mereka akan masukan ke sebuah ruang pendingin besar yang letaknya di lumbung kapal. Setelah berminggu-minggu berlayar dan kembali ke darat untuk menjual hasil tangkapan yang berupa ikan beku tersebut, kesegaran daging ikan menjadi berkurang, hal ini sangat terasa terutama bagi bangsa pencinta sushi dan sashimi ini. Hal ini terus berlangsung menyebabkan para nelayan pun tidak mampu menjual hasil tangkapan mereka dengan harga tinggi. Sampai suatu ketika mereka bereksperimen dengan mengosongkan lambung kapal, lalu diisi dengan air yang cukup untuk menempatkan hasil tangkapan mereka hidup-hidup. Percobaan mereka gagal karena setiba di pelabuhan, semua hasil tangkapan mereka sudah mengapung dalam keadaan busuk.
Pada eksperimen berikutnya masih dengan kolam penampungan di lambung kapal yang sama, hanya saja sekarang ditempatkan seekor ikan hiu berukuran sedang di dalamnya. Ketika tuna hasil tangkapan dimasukkan ke dalam kolam tersebut, maka ikan tuna akan berusaha menyelamatkan diri dengan berenang sekuat tenaga untuk menghindari gigitan ikan hiu tersebut. Begitu pula dengan ikan-ikan hasil tangkapan selanjutnya. Ketika waktu melaut telah selesai, para nelayan kembali ke pelabuhan untuk menjual hasil tangkapanya, dan mereka menyaksikan bahwa semua tuna mereka masih hidup dan terus bergerak menghindari kejaran hiu. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa dagingnya pun masih segar, sesegar ketika baru ditangkap.
Apa pesan moral dari cerita di atas? Ikan tuna yang ditempatkan dalam kolam pada eksperimen pertama tidak mendapatkan “ancaman” dari pihak manapun karena memang kolam tersebut kosong dan hanya dikhususkan untuk mereka. Tetapi hal itu justru membuat mereka tidak waspada dan nyaman dalam “kehangatan semu” yang menyebabkan mereka justru tidak mampu bertahan dan mati. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membuat mereka bergerak dan berjuang. Hal sebaiknya pada eksperimen kedua; menempatkan ikan hiu sebagai “ancaman” yang membuat mereka harus terus bergerak dan berjuang.

Nasi telah menjadi bubur
Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, pengusaha harus berhadapan dengan produk China yang dikenal murah meriah, sehingga ketidaksiapan harus diubah menjadi kesiapan. Bila selama ini pengusaha cenderung keteteran dalam menghadapi gempuran masuknya produk China, maka mulai saat ini pengusaha harus membangun kekuatan untuk menjadi pesaing tangguh produk-produk yang dihasilkan negeri Tirai Bambu. Ini memang tidak mudah. Apalagi karena Indonesia merupakan salah satu negara yang dimaraki pungutan liar (pungli), sehingga terjadi high cost pada hampir semua bidang produksi.
Salah satu cara yang harus dilakukan pengusaha untuk meningkatkan daya saing adalah meningkatkan kualitas hasil produksi, menekan biaya yang tidak perlu agar lebih efisien, membuka channel distribution yang baru dengan memanfaatkan keunggulan atas pemahaman atas geogrfis dan kultur negeri sendiri. Dan yang juga penting adalah, meningkatkan kualitas SDM agar menjadi individu-individu yang memiliki semangat, motivasi, dan kualitas dalam menghadapi tantangan dan persaingan seberat apapun.
Hasil akhir dari setiap persaingan adalah perlombaan pada tingkat kualitas dan efisiensi dimana konsumenlah yang mendapatkan keuntungannya. Dengan penduduk berjumlah lebih dari 230 juta jiwa dan tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 % di saat krisis global saat ini, memang Indonesia masih menjadi primadona para pemasok dunia. Untuk terus dapat bersaing bukan saja dari sisi swasta yang harus mengetatkan ikat pinggang sambil meningkatkan kualitas barang dan jasanya, akan tetapi pemerintah juga sangat berkewajiban untuk mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat dengan memangkas semua biaya ekonomi tinggi, perampingan birokrasi, kemudahan pebisnis mendapatkan kredit lunak, dan ketersediaan sumberdaya manusia yang berwawasan dan berdaya saing internasional melalui sistem pendidikan dan pelatihan di tanah air yang sungguh-sungguh dikembangkan.

Akankah CAFTA akan bermanfaat buat kita?
Iya! Jika pemerintah mempunyai komitmen dan kemauan yang sangat kuat, dalam hal ini saya ilustrasikan sebagai nelayan yang berani merubah pola dan kebiasan lama dalam mempertahankan kesegaran ikan tuna, dengan berani mengambil langkah-langkah perubahan positif yang mendukung pihak pengusaha dan masyarakat Indonesia seperti yang telah saya sampaikan di atas, menjadikan CAFTA hanyalah suplemen multivitamin bagaikan “ikan hiu” yang membuat kita terus terjaga dan berjuang untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi kerja.
Akan terjadi sebaliknya jika pemerintah tetap mempertahankan cara kerja lama yang birokrasinya dikenal korup dan tidak efisien, terutama dalam memfasilitasi pengusaha dan masyarakat Indonesia, maka kita hanya akan menjadi sebongkah “ikan tuna beku” dalam pasar persaingan dewasa ini. Karena, hasil akhir yang berkualitas dimulai dari pengimplementasian yang berkualitas (Quality implementation / QI).

Semoga bermanfaat,
Kevin Wu
Result Consultant
Managing Director CoreAction Result Consulting
www.qi-leadership.com
www.thecoreaction.com

Read More.. Read more...

Senin, 17 Mei 2010

Melepas Belenggu Mental, Meraih Kesuksesan

Seorang dokter bedah kecantikan pada era tahun 1960-an, Maxwell Maltz, mendapati tak sedikit pasiennya yang kecewa setelah wajahnya 'dipermak habis', karena para pasien itu tetap saja merasa kurang cantik dan menarik. Padahal, operasi dilakukan atas permintaan mereka.
Fakta ini menarik perhatian Dr Maltz, sehingga dia pun melakukan riset selama bertahun-tahun, dan menemukan rahasia di balik permasalahan klien-kliennya tersebut. Secara mengejutkan rahasia ini juga dapat menjawab kenapa banyak orang yang sulit untuk berkembang dan meraih kesuksesan.

Rahasia dan formula untuk mengatasi masalah tersebut ditulis dalam buku berjudul “Psycho-Cybernatics”, dan buku ini menjadi best seller dunia. Bahkan karena buku ini Maltz menjadi motivator yang diundang di seluruh belahan dunia, hingga menjelang ajalnya pada 1975. Konon motivator-motivator dunia yang kita kenal sekarang ini, seperti Zig Ziglar, Thony Robbins, Bryan Tracy dan lain sebagainya, mengunakan konsep dasar Maltz dalam pelatihan maupun metode yang mereka bawakan.
Secara ringkas Dr. Maltz menjelaskan, daripada seseorang merubah hal-hal yang terjadi di luar dirinya, jauh lebih efektif jika memulai perubahan dari dalam diri sendiri. Perubahan tersebut diawali dari perubahan atas citra diri yang sering kali sangat rapuh dan negatif, sehingga semua perubahan positif yang terjadi di luar diri sendiri tetap dipandang sebagai hal-hal yang tidak memuaskan.
Citra diri adalah gambaran mental setiap orang terhadap dirinya sendiri. Hal ini termasuk keyakinan kita terhadap kelebihan dan kekurangannya. Sebagian keyakinan tersebut bisa benar, tapi bisa juga salah. Hingga keyakinan tersebut diubah, prilaku kita cenderung mengikuti dan mencari fakta-fakta yang menguatkan keyakinan tesebut.
Sebagai contoh, jika Anda pernah ditertawakan, dihina atau bahkan dicacimaki di depan umum hanya gara-gara salah mengucapkan sesuatu, maka dalam diri Anda muncul keyakinan bahwa Anda tidak berbakat untuk berbicara di depan umum. Jika dampak dari peristiwa memalukan yang tentu saja telah merusak citra diri Anda itu terus Anda pegang, maka selama itu pula Anda “takkan bisa berbicara di depan umum”.
Hal utama yang harus Anda lakukan jika Anda memiliki trauma semacam ini adalah, memperbaiki citra diri tersebut dengan mencari sebanyak-banyaknya bukti bahwa Anda pernah berbicara di depan publik dengan baik dan normal. Di sisi lain, Anda juga mencari fakta bahwa banyak orang juga pernah mengalami kesulitan dan hambatan saat berbicara di depan umum. Pembicara sekaliber mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln bahkan pernah mengakui, setiap kali dia harus berbicara di depan publik, selama 30 detik pertama dengkulnya gemetar karena grogi. Akan tetapi setelah itu dia mengatasi problem ini dengan cara mengumpamakan ada seseorang yang menodongkan pistol di kepalanya, dan memaksanya untuk segera berbicara. Dengan cara ini, karena semangat dan antusias, problem teratasi.

Hal yang diajarkan Maltz selanjutnya setelah citra diri seseorang membaik, adalah menggunakan metode “Synthetic experience”, sebuah metode berupa teknik visualisasi dalam mencapai target. Dengan mental yang sudah membaik, seseorang diminta membuat detil tahapan dan langkah-langkah dalam mencapai targetnya. Metode ini mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitas nyatanya untuk mencapai target. Dengan bingkai mental seperti ini, seluruh potensi dan sumber daya internal setiap orang, termasuk Anda, akan maksimal dalam mengejar pencapaian.
Metode 'Synthetic experience' pernah diterapkan seorang tentara Amerika saat perang Vietnam. Ketika itu perwira tersebut dan sejumlah prajurit Amerika yang lain, ditangkap tentara Vietcong dan dijebloskan ke kamp penahanan. Selama di kamp tersebut, para tentara Amerika disiksa habis-habisan dengan menggunakan cara-cara keji dan di luar batas prikemanusiaan, sehingga banyak dari para tentara itu yang meninggal dunia, dan yang bunuh diri karena tak tahan disiksa. Saat perang usai, hanya perwira itu satu-satunya yang tetap hidup, dan kembali ke Amerika.
Saat diwawancarai sebuah stasiun televisi, perwira tersebut mengatakan begini; “Setiap hari, selama dalam tahanan super berat tersebut, semua tahanan mengalami siksaan mental maupun fisik. Sebagian besar dari kami memilih berhenti berjuang dan menyerah, tetapi tidak bagi saya. Setiap hari dalam pikiran, saya selalu membayangkan hari-hari dimana saya akan dibebaskan, dimana saya berjumpa kembali dengan seluruh keluarga dan sanak saudara yang saya cintai. Dan akhirnya, inilah saya”.
Dengan metode 'synthetic experience', perwira itu memvisualisasikan hari pembebasannya. Meski ketika itu belum ada tanda-tanda bahwa perang akan usai. Bahkan sebaliknya, penyiksaan keji terhadap dirinya dan rekan-rekannya, menjadi pengalaman dan pemandangan sehari-hari yang tak dapat dihindari. Gambaran metal inilah yang membuat dia kuat dan bertahan.
Lalu bagaimana dengan 'siksaan' yang harus Anda hadapi setiap hari? Apakah lebih berat dari yang dialami perwira tersebut? Saya rasa tidak. Tetapi banyak dari kita merasa, atau lebih tepatnya mengkondisikan hidupnya sendiri, demikian sedih dan menderita, sehingga punya alasan untuk pesimis atau bahkan menganggap hidup tidak lagi ada gunanya. Menyedihkan! Jika Anda berfikir begitu, maka hal negatif seperti itulah yang akan Anda dapatkan. Sering sebagian besar dari kita sudah menyerah sebelum memulai, karena kita memiliki gambaran mental yang membuat kita enggan untuk berjuang. Hal 'sederhana' seperti ini harus Anda atasi, karena jika tidak, akan terus mengganggu Anda dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik.
Benar kata Dr Maltz, hambatan terbesar manusia dalam mencapai apapun berasal dari dalam dirinya sendiri. Demikian juga peribahasa yang menjadi begitu tersohor “Anda adalah Apa Yang Anda Pikirkan” oleh karena itu ingatlah, hasil akhir yang berkualitas dimulai dari mengimplementasikan yang berkualitas (Quality implementation / QI).

Semoga bermanfaat,
Kevin Wu
Result Consultant
Managing Director CoreAction Result Consulting
www.qi-leadership.com
www.thecoreaction.com

Read More.. Read more...

Minggu, 09 Mei 2010

Sri Mulyani Adalah QI Leader

Indonesia memang negara yang amat potensial. Bukan hanya karena memiliki sumber daya alam yang melimpah, tapi juga sumber daya manusia yang bermutu. Jika saja semua ini dikelola dengan baik, negara kita mungkin telah tumbuh menjadi salah satu negara maju di dunia.
Kesadaran ini mendadak muncul kembali di benak saya setelah saya membaca berita pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati dari jabatan sebagai Menteri Keuangan (Menkeu), karena ditunjuk Presiden Bank Dunia Robert Zoellick untuk menjadi managing director di banknya itu.

Beberapa pekan terakhir ini, Sri yang oleh Majalah Forbes di tempatkan pada urutan 71 sebagai Wanita Paling Berpengaruh di Dunia, tengah dipusingkan oleh skandal Bank Century yang membuatnya terancam menjadi tersangka, karena ketika dana bailout sebesar Rp6,7 triliun untuk bank itu dikucurkan, Sri menjabat sebagai ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Mengapa Zoellick memilih perempuan kelahiran Bandar Lampung 26 Agustus 1962 yang tengah dibelit kasus hukum beraroma korupsi itu?
Sri, oleh banyak kalangan dinilai sebagai pribadi tangguh yang sepak terjang dan skill-nya mampu memberikan sumbangsih yang amat berharga bagi Indonesia. Majalah Forbes memilih Sri sebagai salah seorang Wanita Paling Berpengaruh di Dunia, karena beberapa alasan. Di antaranya, karena Sri dinilai sukses memberikan navigasi bagi bangsa Indonesia saat krisis ekonomi global melanda menjelang akhir 2008; berhasil memberantas korupsi di Departemen Keuangan, salah satu departemen yang dianggap paling korup di Indonesia; dapat mendorong disahkannya UU investasi dan insentif pajak; sukses mendorong penggunaan mata mata uang lokal ketimbang dolar AS untuk perdagangan di Asia saat krisis ekonomi masih melanda; mampu mewujudkan swap bilateral US$ 15 miliar dengan China sehingga bisa memudahkan importir membayar barang-barang dari China dengan Yuan, tanpa dolar AS; dan apa yang dilakukannya mendapatkan respek dari rekan-rekannya di seluruh dunia.
Sejumlah media di Tanah Air mencatat, ketangguhan Sri selama menjadi Menkeu terlihat dari ketegasannya untuk menolak mengalokasikan dana penanggulangan kasus lumpur Lapindo dalam APBD 2006 dan 2007, dan tegas meminta PT. Lapindo Brantas, perusahaan milik ketua umum DPP Golkar Abu Rizal Bakrie, agar bertanggung jawab; Sri juga dengan tegas meminta Imigrasi mencekal 14 pengusaha batu bara, termasuk petinggi di Grup Bakrie, karena menunggak pembayaran royalti kepada negara sejak 2001 dengan total Rp 3,9 triliun; dan berhasil membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 6 November 2008 mencabut suspensi perdagangan bagi enam emiten dari Grup Bakrie, di antaranya PT. Bumi Resources Tbk dan PT. Bakrie Sumatera Plantation Tbk, karena keenam perusahaan ini bermasalah.
Jika dikaji dari sepak terjangnya, jelas sekali kalau Sri merupakan seorang Quality Implementation (QI) Leader, karena dia memiliki character dan competence yang menjadi syarat bagi seorang QI Leader. Ini dibuktikan dengan kemampuannya untuk bersikap tegas dan konsisten atas kebijakan yang dibuatnya. Dengan karakter yang dia miliki, Sri tahu persis bahwa jika dia berbuat begini atau memutuskan begitu, maka itulah yang terbaik, karena sesuai misi, visi dan value-nya. Dia melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dikatakannya (integritas), dan tidak khawatir tudingan orang karena yakin apa yang dilakukannya benar, dan merupakan yang terbaik ntuk negeri ini. Bahkan setiap permasalahan dapat disikapi secara dewasa, sehingga dia terlihat selalu tenang, stabil, dan tidak mudah tergoyahkan.
Dengan kompetensinya, Sri dapat merancang setiap kebijakan yang dibuatnya secara matang, baik dari segi teknis maupun konseptual. Karenanya, dia mampu memberikan navigasi bagi bangsa ini ketika krisis ekonomi global mendera, dan mampu mewujudkan swap bilateral US$ 15 miliar dengan China, sehingga bisa memudahkan importir membayar barang-barang dari China dengan Yuan, tanpa dolar AS.
Kita berharap, kita akan memiliki lebih banyak lagi Sri-sri yang lain, bukan sri yang hanya mampu bersuara, tapi tidak memberikan sumbangsih apa-apa selain kemampuan sistematis untuk mengkorupsi duit rakyat. Dengan seribu Sri, Indonesia dapat tumbuh secepat yang kita inginkan. Hanya saja, Sri pun harus menjaga dirinya agar jangan sampai dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang akhirnya akan merusak citra dirinya sendiri.

Salam,
Kevin Wu
Result Consultant
Managing Director CoreAction Result Consulting
www.qi-ledaership.com
www.thecoreaction.com

Read More.. Read more...

Selasa, 04 Mei 2010

Tips Merintis “Peta Jalan” Kesuksesan

Banyak orang, termasuk mungkin saya dan Anda, sering punya alasan untuk berkelit dari sebuah kegagalan, tanpa menyadari kalau jurus berkelit sebenarnya merugikan diri sendiri karena dengan berkelit, Anda mendapatkan pembenaran atas kegagalan Anda, dan Anda menjadi tidak terpacu untuk meningkatkan kinerja. Coba ingat-ingat, selama Anda merintis karir, sudah berapa kali Anda berkelit ketika Anda gagal melaksanakan tugas, atau mencapai target yang ditetapkan perusahaan? Dan apa saja alasan pembenaran Anda?
Saya berkali-kali bertemu orang yang sering beralasan begini; “Ah, saya gak berhasil kan, karena anggota tim saya tidak cukup untuk mencapai target seperti itu!” atau “Anggaran yang diberikan kurang, bagaimana kita bisa merealisasikan target itu? Memangnya ke sana ke mari tidak pakai biaya?”
Selama ini, persoalan yang menghambat kemajuan perusahaan sebagian besar bersumber dari kalangan internal perusahaan itu sendiri. Itu berarti bersumber dari personil di dalamnya. Termasuk mungkin Anda yang duduk pada posisi sebagai pembuat kebijakan. Ada lima penyebab mengapa seorang leader gagal mencapai goal. Pertama, pola kepemimpinan yang buruk sehingga tim tidak termotivasi untuk mencapai goal. Kedua, goal yang ingin dicapai tidak jelas sehingga tim Anda bingung bagaimana mencapainya. Ketiga, meski goal jelas, tapi Anda tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mencapai goal itu. Keempat, telah tumbuh bad habbit (budaya buruk) dalam tim Anda, sehingga tidak semua anggota tim bergerak ke arah pencapaian goal. Dan yang kelima, sistem reward and punishment tidak jalan atau justru tidak ada. Nah, dari kelima penyebab tersebut, yang mana yang menjadi persoalan Anda sehingga goal gagal dicapai?
Sekarang mari kita bahas satu penyebab saja, yakni tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mencapai goal. Seorang leader, apalagi dia pada posisi sebagai pembuat kebijakan seperti direktur utama dan jajaran direksinya, harus dapat menjadi seorang path finding (perintis jalan) yang memungkin anggota timnya dapat terus bergerak maju menuju target, dan tidak berhenti hanya karena ada penghalang di depan mata. Dengan berperan sebagai path finding akan membuat dia seperti membuka jalan dan memberikan peta kepada anggota timnya, sehingga jika sang leader menugaskan seorang anggota tim ke sebuah desa di Bandung, dan si anggota tim tak tahu dimana letak desa itu, sang leader dapat menunjukkan lokasinya. Lengkap dengan nama-nama wilayah dan jalan yang harus dilalui.
Leader juga manusia, sehingga tak mungkin mengetahui banyak hal dan memiliki ide untuk semua hal? Of course! Di sini lah kualitas seorang leader diuji. Agar tidak nampak bodoh di depan anggota tim, atasi masalah ini dengan menemukan key drivers, yaitu penyebab-penyebab utama/faktor-faktor yang mendorong tercapainya goal. Cara mendapatkan kunci ajaib ini adalah dengan menganalisis penentu keberhasilan Anda atau orang lain dalam meraih goal yang relatif sama pada waktu yang lalu, menganalisis sumber utama yang sering membuat Anda kesulitan mencapai goal, dan memahami kebutuhan konsumen Anda. Akan lebih baik jika saat ketiga hal ini Anda lakukan, Anda melibatkan tim, karena siapa tahu anggota tim memberikan masukan-masukan yang justru akan membuat key drivers Anda menjadi sebuah kunci yang dapat membuat goal lebih cepat tercapai. Keuntungan lain dengan melibatkan tim dalam proses ini adalah, karena merasa dilibatkan dalam proses perencanaan pencapaian goals, tim akan merasa ikut memiliki goal tersebut, sehingga mereka termotivasi untuk segera mencapainya, dan bertindak dengan penuh semangat. Jika Anda menentukan segalanya sendiri dan tim tinggal melaksanakan perintah-perintah Anda, hmmm … bayangkan saja akibatnya. Apalagi jika di antara perintah Anda ada yang tidak mereka sukai.
Nah, jika key drivers telah ditetapkan, prioritaskan langkah pencapaian goal Anda dengan berpegang pada kunci itu. Jangan melenceng, karena key drivers dapat laksana pembatas jalan yang tak boleh Anda langgar. Jika pembatas jalan ini Anda langar, bersiap saja untuk gagal lagi mencapai goal, karena hasil akhir yang berkualitas dimulai dari pengimplementasian yang berkualitas (Quality implementation / QI)”.

Semoga bermanfaat.
Kevin Wu
Result Consultant
Managing Director
CoreAction Result Consulting
www.qi-leadership.com
www.thecoreaction.com


Read More.. Read more...
Related Posts with Thumbnails

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP